Menuju Strategi Hidup (2): Mengenali Diri Secara Saintifik

From Hypothesis to Insights

Ilma Aliya Fiddien
8 min readJul 2, 2024

“Know thyself.” — Socrates

Photo by Photobank Kiev on Unsplash

Bayangkan dua orang sahabat, Asep dan Ujang. Asep selalu tampak yakin dalam setiap keputusan yang ia buat. Ia tahu apa yang ia inginkan dalam hidup dan bagaimana cara mencapainya. Sementara Ujang, seringkali gamang menghadapi pilihan. Ia mudah dipengaruhi pendapat orang lain dan sering menyesali keputusan yang diambilnya.

Apa yang membedakan Asep dan Ujang? Jawabannya, tanpa berasumsi macam-macam, terletak pada seberapa baik mereka mengenal diri mereka sendiri. Arguably, mengenal diri sendiri adalah kunci untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup. Karena ketika kita memahami siapa diri kita, apa nilai-nilai, kekuatan dan kelemahan kita, kita bisa membuat keputusan yang lebih baik dan menjalani hidup dengan lebih autentik.

(Please, no offense, Kang Asep and Kang Ujang 😅🙏)

Fitrah Manusia untuk Mengenal Dirinya

Sistem struktur kepercayaan saya mengajarkan bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah — suatu disposisi bawaan yang baik, yang mengarahkan manusia pada kebenaran. Namun dalam perjalanan hidup, fitrah ini seringkali tertutup oleh berbagai pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, tugas kita adalah menemukan kembali fitrah tersebut, mengenali jati diri kita yang sejati.

Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan “fitrah”? Menurut pemahaman saya, fitrah mencakup berbagai kualitas positif bawaan seperti kejujuran, keberanian, kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang. Ini adalah “cetak biru” asli dari diri kita, sebelum dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan kondisi lingkungan.

Dengan asumsi dasar ini, langkah pertama dalam perjalanan mengenal diri adalah mempelajari apa saja fitrah ini. Kita perlu memiliki pemahaman yang jelas tentang kualitas-kualitas positif yang ingin kita temukan dan kembangkan dalam diri kita. Tanpa peta yang jelas, akan sulit untuk mengarahkan perjalanan eksplorasi diri.

Namun, di tulisan ini kita tidak akan berbicara tentang what dan which, tapi tentang how. How to (re)discover yourself?

Banyak cara untuk mengenal diri, dari introspeksi, meditasi, membaca referensi, hingga konseling. Kali ini kita akan menjelajahi satu pendekatan yang mungkin belum banyak dipromosikan: mengenali diri secara saintifik.

Sebelum kita membahas metode ini lebih lanjut, ada satu aspek penting yang perlu diperhatikan: mental-set. Mental-set adalah kumpulan sikap mental dan emosional yang kita bawa dalam suatu aktivitas. Ini adalah “operating system” yang berjalan di balik layar, mempengaruhi bagaimana kita memproses informasi dan berinteraksi dengan dunia.

Dalam konteks mengenal diri, beberapa mental-set yang penting untuk di-install adalah: integritas, syukur, ambisi, kepercayaan diri, kesabaran, dan berbelas kasih. Proses mengenal diri secara saintifik secara alami akan mendorong kita untuk mengembangkan dan memperkuat mental-set tersebut. Mari kita lihat bagaimana mereka berperan dalam setiap tahapannya.

Pertama, untuk memulai perjalanan menemukan kembali fitrah ini, kita perlu menanamkan mental-set syukur — kerendahan hati untuk mengakui bahwa masih banyak yang belum kita ketahui tentang diri kita sendiri. Dengan sikap ini, kita lebih terbuka untuk menjelajahi berbagai aspek dari diri kita.

Photo by Nhia Moua on Unsplash

Apa itu “Sains” dalam Konteks Ini?

“All truths are easy to understand once they are discovered; the point is to discover them.” — Galileo

Sains seringkali dipahami sebagai sesuatu yang terkait laboratorium, eksperimen, atau rumus-rumus rumit. Namun esensi dari sains sebenarnya sederhana: ia adalah suatu cara sistematis untuk memperoleh pengetahuan melalui observasi dan eksperimen. Metode ilmiah, yang menjadi pondasi sains modern, terdiri dari tahapan

  1. mengajukan hipotesis,
  2. merancang eksperimen untuk menguji hipotesis tersebut,
  3. mengumpulkan data melalui observasi, lalu
  4. menarik kesimpulan berdasarkan data.

Prinsip yang sama bisa kita terapkan untuk mengenal diri kita. Alih-alih mengandalkan asumsi atau prasangka, kita bisa mengamati diri kita secara objektif, mengumpulkan “data” tentang pikiran, perasaan, dan perilaku kita, lalu menarik insight dari sana.

Untuk mengaplikasikan prinsip sains dalam mengenal diri, kita perlu integritas — kejujuran pada diri sendiri. Ini berarti berani mengakui kebenaran tentang diri kita, sekali pun itu tidak selalu menyenangkan.

Proses Mengenal Diri secara Saintifik

1. Membuat Hipotesis tentang Diri

Langkah pertama adalah membuat dugaan atau “hipotesis” tentang diri kita. Contohnya,

“Saya adalah orang yang introvert”,

“Saya lebih produktif di pagi hari”, atau

“Saya cenderung menghindari konflik.”

Hipotesis yang baik harus spesifik dan bisa diuji — falsifiable. Hindari hipotesis yang terlalu umum seperti “Saya orang yang baik,” atau yang terlalu bersandar pada subjektivitas pihak lain seperti “Saya orang yang ganteng.”

Dibutuhkan ambisi — inisiatif untuk memulai perjalanan — dalam membuat hipotesis tentang diri. Kita harus proaktif, tidak hanya menunggu orang lain mendefinisikan siapa kita.

2. Merancang Eksperimen

Selanjutnya, rancanglah cara untuk menguji hipotesis. Ini bisa berupa proyek pribadi atau profesional yang akan kita jalani selama beberapa bulan. Tentukan variabel yang akan kita ukur untuk menguji hipotesis, seperti tingkat energi, nuansa hati, atau produktivitas dalam berbagai kondisi. Pilih juga alat yang akan kita gunakan untuk mengukurnya, seperti jurnal harian atau aplikasi pencatat mood.

Misalnya, jika hipotesis kita adalah “Saya lebih produktif di pagi hari,” kita bisa merancang eksperimen dengan menyelesaikan tugas penting di pagi hari selama seminggu, lalu membandingkan hasilnya dengan minggu di mana kita menyelesaikan tugas serupa di sore atau malam hari. Metrik yang dipakai bisa seperti “jumlah tugas yang terselesaikan dibandingkan dengan jumlah tugas yang direncanakan” dan “perasaan sebelum dan setelah sesi mengerjakan tugas di pagi hari.”

Merancang “eksperimen” menuntut kepercayaan diri — suatu kebulatan tekad. Kita harus percaya bahwa upaya untuk lebih mengenal diri ini layak untuk mendapat prioritas dan komitmen yang tinggi.

3. Menjalankan Eksperimen

Jalani proyek tersebut selama periode yang cukup panjang — sepengalaman saya — idealnya 3–6 bulan, agar iterasinya refleksinya nanti menjadi lebih cepat. Durasi yang cukup panjang memungkinkan kita untuk melihat pola dan tren, sekaligus mengeliminasi bias. Jika ingin lebih berani, ambil hingga komitmen hingga 1 tahun. Kalaupun suatu proyek yang sudah ada ini lebih panjang dari itu, coba pecah menjadi beberapa fase yang managable, karena kalau kepanjangan kita bisa lebih rentan kehilangan fokus.

Catatlah hasil observasi kita secara rutin dalam jurnal eksperimen. Fokus pada fakta, bukan penilaian. Contohnya, alih-alih menulis “Hari ini saya malas,” tulislah “Hari ini saya hanya menyelesaikan 2 dari 5 tugas yang direncanakan.”

Dalam menjalankan “eksperimen” jangka panjang ini, kesabaran — ketekunan dan kontrol diri — adalah kunci. Jangan berharap hasil instan. Nikmati prosesnya dan percayalah bahwa setiap data yang kita kumpulkan, sekecil apa pun, berkontribusi pada pemahaman diri yang lebih baik.

On a side note, proyek-proyek yang kita pilih dalam eksperimen ini juga memiliki peran penting dalam interaksinya dengan kapasitas kita, seperti yang telah dibahas dalam tulisan “Menuju Strategi Hidup: Konsep dan Relasi”.

Dengan terlibat dalam berbagai proyek, kita dapat mengeksplorasi minat, nilai, dan kemampuan kita dalam konteks yang nyata. Kita dapat mengamati bagaimana kita merespons terhadap tantangan yang berbeda, bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana perasaan kita tentang hasil dari upaya kita.

Dan tentu saja, pengamatan perlu dikristalkan dalam sesi-sesi refleksi diri.

4. Refleksi Berkala

Jangan menunggu hingga akhir untuk merefleksikan data yang telah terkumpul. Lakukan refleksi secara berkala, terutama setelah kejadian signifikan atau mencapai milestone yang penting. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri, cari insight dari pola yang muncul.

Refleksi bisa dilakukan dalam berbagai skala waktu dan kedalaman. Secara umum, saya membedakan refleksi ke dalam tiga level: evaluasi tindakan, evaluasi intensi, dan evaluasi strategi. Evaluasi tindakan adalah jenis refleksi yang paling sering dilakukan dalam konteks memahami diri sendiri. Ini biasanya saya lakukan di setiap istirahat shalat lima waktu dan di akhir pekan ketika ada keluangan untuk me-review catatan jurnal, kalender, dan komitmen.

(Lebih jauh tentang elaborasi praktik refleksi/evaluasi diri di tulisan selanjutnya! Semoga 🤞)

Contoh hasil dari refleksi yang saya pernah buat:

Aku menemukan diriku jika dipakaikan sorting hat Hogwarts pasti akan dimasukkan ke Slytherin House. How? Conclusion by elimination: I’m not *that* brave (G), smart (R), or kind (H), but ambitious enough to “write”. Setidaknya sampai saat ini. — Refleksi Q4 2022, tentang mengenal sifat yang paling menonjol dalam diri.

(to write = to make a mark)

5. Menarik Kesimpulan

Di akhir “eksperimen,” buatlah kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan. Apakah hipotesis awal kita terbukti? Hikmah apa yang bisa didapatkan tentang diri kita? Jangan lupa untuk berbagi cerita dan pembelajaran yang terkumpul, karena ia bisa menginspirasi orang lain dalam perjalanan mereka mengenal diri — jika kita nyaman dengan itu.

Kesimpulan eksperiman ini juga akan memberikan wawasan berharga tentang kekuatan dan area pertumbuhan pribadi kita. Mungkin akan ditemukan bahwa kita

  • sangat menikmati proyek yang melibatkan kreativitas,
  • perlu mengembangkan keterampilan komunikasi,
  • menemukan kepuasan yang mendalam dalam proyek yang berkontribusi pada kebaikan sosial, atau
  • berkembang pesat dalam lingkungan yang kompetitif.

“Life is so bumpy, and that’s ok, as long as you are staying on the track. […] The key takeaway: only trade your attention within the best kind of transaction. It is the only way for you to maintain clarity and grace.” — Refleksi Q2 2023, mengenai atensi diri yang tercecer dan cara mengatasinya.

Menerima Kompleksitas Diri

Alhamdulillah, melirik ke belakang pula, kita telah banyak belajar, dan tentu saja masih butuh terus belajar. Kita telah banyak terkaget-kaget, menepuk jidat, mengelus dada, menjitak kepala, beradaptasi, menerima, menolak, atau sementara berdamai di keabu-abuan. Namun di balik semua nikmat itu, tidak ada yang lebih lezat dibandingkan lebih mengenalnya aku pada diriku sendiri; tentang posisi, tujuan, dan endgame. Ketika nikmat ini mulai sering tercicipi, maka mudahlah untuk ingin zoom-in & out segala problematika. Bukan berarti selalu punya solusi, tapi setidaknya bisa lebih pandai menempatkan diri dan fokus doing my bit with adab. — Refleksi Q3 2023, tentang mengeksplorasi posisi diri.

Ketika kita mulai mengulik dunia internal kita lebih jauh, kita mungkin akan menemukan banyak kontradiksi. Seseorang bisa menjadi orang yang ambisius sekaligus pemalas, pemberani namun penuh ketakutan, dermawan tapi juga egois. Namun, kontradiksi ini tidak unik untuk konteks ini saja. Bahkan dalam sains, kita sering menemukan teori atau eksperimen yang tampaknya bertentangan, meskipun sama-sama teruji “benar” dan berguna.

Ambil contoh fisika Newtonian dan fisika Einstein. Fisika Newtonian, F=ma, dengan konsep seperti gravitasi dan gerak, tampaknya berlaku untuk dunia yang kita alami sehari-hari. Namun, fisika Einstein, e=mc², dengan teori relativitas dan melengkungnya ruang-waktu, menggambarkan realitas yang sangat berbeda pada skala kosmik. Pada awalnya, teori-teori ini tampak bertentangan. Namun, seperti yang diargumentasikan oleh filsuf sains Thomas Kuhn, perbedaan ini muncul dari paradigma yang berbeda yang mendasari teori-teori tersebut.

Alih-alih melihat teori-teori ini sebagai kontradiksi yang harus dihilangkan, kita dapat melihatnya sebagai perspektif yang saling melengkapi, masing-masing menangkap aspek yang berbeda dari realitas yang kompleks. Fisika Newtonian sangat baik untuk menjelaskan dunia pada skala manusia, sementara fisika Einstein dibutuhkan untuk memahami alam semesta pada skala besar.

Kita dapat membawa wawasan ini ke eksplorasi diri kita sendiri. Kontradiksi yang kita temukan dalam diri kita mungkin hanyalah refleksi dari kompleksitas bawaan dari keberadaan kita, sama seperti semesta yang kita huni ini kompleks dan multifaset. Setiap aspek dari diri kita, bahkan yang tampaknya bertentangan, mungkin memiliki peran dalam konteks yang berbeda.

Di sinilah pentingnya mental-set compassion — gentle atau berbelas kasih — lemah lembut. Ketika berhadapan dengan kontradiksi pribadi, mudah untuk menjadi frustrasi dan menghakimi diri sendiri. Tapi dengan berbelas kasih pada diri sendiri, kita bisa menerima bahwa kontradiksi ini adalah bagian normal dari menjadi manusia. Kita belajar untuk memperlakukan diri sendiri dengan kelembutan, seperti bagaimana kita akan memperlakukan seorang teman yang sedang kesulitan.

Alih-alih melihat kontradiksi ini sebagai kelemahan, kita bisa melihatnya sebagai kompleksitas yang indah. Dengan mengenali dan menerima berbagai aspek dalam diri kita, baik yang positif maupun negatif, kita bisa menjadi lebih utuh dan autentik.

Closest to you is a library of a collection of us always on a contrary. — Refleksi Q1 2024, mengenai semua kontradiksi diri.

Jadi, ketika dalam perjalanan mengenal diri kita menemukan perpustakaan internal yang penuh kontradiksi ini, jangan berkecil hati. Justru inilah tanda bahwa kita kemungkinan besar berada di jalur yang tepat. Teruslah menjelajahi setiap sudut dari perpustakaan tersebut dengan penuh keingintahuan dan penerimaan. Karena hanya dengan mengakui kompleksitas diri kita dan semesta yang kita huni, kita bisa mulai menata dan mengelola kompleksitas tersebut.

Tulisan ini adalah bagian ke-2 dari seri Menuju Strategi Hidup.

Tulisan sebelumnya:

--

--