Menuju Strategi Hidup: Konsep dan Relasi
Pssst, pakai jargon matematika dan tidak untuk jiwa yang lelah.
Semenjak Prof. M. Salman A. N. berpuisi di penghujung kuliah Matematika 1A di ITB tentang titik dan garis, kepala saya yang kesukaannya adalah menyederhanakan urusan tak henti-hentinya membayangkan titik/konsep dan garis/relasi dalam segala unsur kehidupan. Dari perihal masuk WC, tugas akhir kuliah, hingga — baru terbayangkan jelas sekarang — konsepsi strategi hidup.
Konsep dan Relasi
Maksudnya memang ingin menyederhanakan fenomena kehidupan yang sejatinya kompleks, tapi sebagian orang mungkin melihat visualisasi seperti ini sebagai mengglorifikasi hal sehari-hari yang sudah seharusnya common sense.
Ya, urusan menjaga toilet yang bersih sangatlah common sense. Namun seberapa banyak orang yang tidak mempraktikan common sense ini? Mengilustrasikannya sebagai relasi-relasi yang bersesuaian setidaknya membuat otak kita yang mudah lupa ini lebih sadar. Lebih sadar membuat lebih ingat.
Kenapa perlu dibuat relasi dan keterhubungan? Agar kita bisa berpikir lebih holistik, bisa lebih sensitif terhadap pengaruh-pengaruh dalam suatu proses, dan lebih pentingnya lagi, menempatkan segala sesuatu pada tempat yang semestinya — definisi “beradab”. Dengan begitu, setiap konsep atau entitas bisa saling dibedakan atau terlihat jelas perbedaannya, sehingga ketika kita berwacana dan berdialog tidak ada kesalahan makna dan maksud.
Kesimpulannya sejauh ini: mengenumerasi konsep dan entitas yang terlibat dalam suatu sistem, lalu memaknai relasinya satu sama lain, adalah bagian dari usaha agar diri semakin beradab.
Pikiran yang beradab menghasilkan perilaku yang berakhlak.
Menuju Hidup Yang Berstrategi
Lalu bagaimana menjalankan hidup yang beradab?
Semua dimulai dari relasi ini:
Aksioma — Tentang Mengapa: Segala sesuatu yang terjadi di dunia adalah ujian untuk melihat siapa yang terbaik amalnya.
— QS 67:2
Dengan berfokus pada diri sendiri dan lingkaran pengaruh diri, bagian amal atau “Thoughts & Acts” bisa dipecah lagi menjadi seperti berikut, mengingat bahwa yang terbaik adalah yang paling bermanfaat:
Teorema — Tentang Apa: Beramal-lah di setiap peran kita melalui kontribusi-kontribusi yang bermanfaat agar lulus melewati ujian hidup.
— Terinspirasi QS. 2:177, 103:1–3
Sehingga, ketika kita berada di tahap kehidupan selanjutnya, ada bahan-bahan non-memalukan yang bisa kita laporkan.
Semakin besar manfaat, semakin bagus hasil ujiannya. Namun kita memiliki batas usia yang sangat singkat, dengan rata-ratanya tidak melebihi 80 tahun. Jika 1/3 waktu kita dihabiskan untuk tidur, 1/3 lain untuk bekerja ngalor-ngidul, dan 1/3 sisanya untuk rutinitas dan haha-hihi, kapan bisa menghasilkan manfaatnya?
Masukkan manfaat ke setiap aktivitas. Dengan istirahat yang berkualitas, dengan pekerjaan yang berkah, dengan rancangan rutinitas yang membangun kapasitas, dan haha-hihi secukupnya sesuai batas kebutuhan.
Bukanlah seharusnya sudah seperti itu? Itu, kan, bare minimum! Ingat kembali bahwa usia kita terbatas, dengan nikmat yang tiada henti, dosa yang terlalu banyak, amal baik yang minimalis, dan harapan surga yang ketinggian. Kalau begini, di mana posisi tawar kita di hadapan Yang Maha Adil?
Mau tidak mau, siap tidak siap, beban ini ada. Logikanya, tak mungkin Sang Pencipta membuat ujian yang membuat semua orang gagal. Lalu bagaimana?
Buatlah kontribusi yang manfaatnya melebihi batas usia kita. Simpelnya, amal jariyah. Namun, mari tidak berhenti di bayangan menjadi seorang guru yang mengajar, orang kaya yang berwakaf, atau orangtua yang anaknya saleh (ya, tentu tidak ada masalah dengan jalan-jalan ini). Mari bayangkan manfaat yang bermultiplikasi, seperti bagaimana hadist-hadist yang kita terima tinggal nomornya saja, sebelumnya harus dikumpulkan dari berbagai sumber ke dalam berjilid-jilid buku secara sistematis — itu belum ada sebelum Umar bin Abdul Aziz. Bayangkan al-Khawarizmi yang awal maksudnya ingin mempermudah perhitungan ilmu waris, namun metodenya menjadi pondasi bidang aljabar, yang setelah itu berkembang sampai salah satunya menjadi aljabar linear, badan ilmu tempat machine learning sekarang bersandar. Bayangkan lagi Taman Siswa Ki Hajar Dewantara, muncul ketika pendidikan di nusantara sulit didapatkan oleh rakyat jelata di pulau Jawa, yang akhirnya pada saat itu mereka akan menjadi generasi pejuang kemerdekaan Indonesia. Juga filsafat pendidikannya yang kini tercatat dan terpahat di buku dan baju siswa, dan di bangunan sekolah-sekolah di penjuru negeri — semoga 3 kalimat itu terus dimaknai.
Ya, bayangkan hasil akhirnya, bayangkan juga kapasitas yang diperlukan untuk menghasilkan karya-karya multiplikatif mereka. Manfaat hanya akan sebesar kapasitas agen-agen yang menghasilkannya. Kapasitas visioner dan eksekusi Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kedalaman pengetahuan tentang angka dan lugasnya tulisan al-Khawarizmi, pemahaman akan kebutuhan sekitar dan keberaniannya Ki Hajar Dewantara, tentu bukan kenyataan yang muncul dari tanah dan turun dari langit semata. Mereka tidak tiba-tiba menjadi rising star, tapi ditumbuhkan dan dilatih kemampuannya dengan pendidikan dan pengalaman bertahun-tahun.
Proposisi — Tentang Bagaimana: Bangun terus kapasitas diri untuk terus memperluas pengaruh kontribusi.
— Terinspirasi QS 2:286, 13:11
Dengan ini, sekarang kita bisa mengelaborasi sistem yang lebih komprehensif untuk menjawab tantangan terbesar kehidupan, ditambah dengan aspek modal dan eksekusinya:
Agar tidak memperkompleks lagi visualnya, ada beberapa hal yang tak terpampang di graf di atas, yakni niat, ketenangan hati, mentalitas, aset selain uang/harta, dan pengaruh/bantuan pihak eksternal. Penjelasan aspek-aspek tersebut membutuhkan bahasan berbeda di lain hari.
Selain itu, God’s guides yang hanya terhubung ke Values bukan berarti hidayah dan petunjuk Allah hanya ada pada level abstraksi kontribusi dan peran — konsep-konsep lainnya pun tetap berada pada pengaruh petunjuk Yang Maha Kuasa.
Contohnya
Mari ceritakan sebuah contoh, yaitu potongan pengalaman saya mendapatkan beasiswa, suatu peningkatan karir, di tengah karir sebagai mahasiswa.
Tingkat 2 perkuliahan telah di lewati, dibarengi oleh suatu misi yang diutamakan, yaitu mengekplorasi minat diri. Saya mencoba pengabdian masyarakat, mengajar, fotografi, desain grafis, video-making dari konsep hingga editing, konseptor event besar, merancang konten sosial media suatu lembaga, kesekretariatan, belajar pemikiran dan filsafat, hingga berjualan jajanan penghilang lapar. Semua dijabani kecuali salah satu ukuran paling esensial sebagai seorang mahasiswa: kapasitas akademik. Sebegitu diabaikannya unsur akademik ini sehingga saya mempertanyakan diri apakah saya pantas lulus sebagai sarjana matematika.
Dalam menyelesaikan kegawatan ini, justru saya tersadarkan akan mindset aneh yang selama ini dipegang, yakni mindset keberhutangan: selama masa “berkekurangan” ini, biarlah pihak lain membantu saya, sehingga saya berhutang budi dan terpacu untuk membantu mereka lebih banyak ketika saya lebih “mapan” di kemudian hari. Artinya, dalam konteks saat itu, saya perlu disuntik bantuan untuk menggali dan meningkatkan kapasitas akademik. Bertepatan dengan momennya, terbukalah kesempatan untuk mendaftar Beasiswa Aktivis Salman (BAS), suatu program yang mengapresiasi prestasi dan mengembangkan mahasiswa dengan basis kepemimpinan. Dari publikasinya, saya tertarik untuk mendekati suatu subpupulasi tipikal beswan BAS, para (nyaris) IP 4 dari berbagai universitas yang sekaligus tidak kopong unsur leadership-nya.
Singkat cerita, setelah sedikit meningkatkan kemampuan saya mengomunikasikan kepribadian, pengalaman, dan sedikit rencana ke depan, saya diterima sebagai beswan BAS. Dalam bahasan kita, inilah titik di mana saya meng-upgrade karir sebagai mahasiswa yang ingin perkembangan dirinya holistik. Saya mendapatkan keuntungan finansial sedemikian hingga saya tidak perlu berpikir dua kali untuk makan siang dengan Ayam Geprek Ganyang dan jus alpukat Kantin Salman demi hari yang lebih smooth untuk belajar lebih keras. Pembuatan laporan perkembangan pribadi setiap bulannya, ditambah dengan penuh malunya meminta tanda-tangan “atasan” kita di kegiatan utama, memacu kapasitas evaluasi diri yang lebih tajam. Proyek sosial-masyarakat di penghujung program dan kondisi pandemi memaksa kapasitas bersabar dan mengejar deadline dalam kolaborasi jarak jauh. Hingga di akhir, saya belajar memupuk jiwa apresiasi dimulai dari diri sendiri ketika saya dinyatakan sebagai salah satu beswan terbaik di angkatan.
Lalu bagaimana dengan tujuan awal, yaitu mengukur kapasitas akademik? Ternyata memang pengaruh lingkungan tidak bisa membohongi. Inspirasi dan energi dari perjuangan para academically high-achiever di BAS bisa sampai merambat pada saya yang mungkin terlalu overload dengan unfiltered minat. Grafik indeks prestasi per semester yang sebelumnya seperti turun gunung mulai membentuk lembah.
Ya, alhamdulillah. Dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk menjadi beswan BAS selama 1 tahun tersebut adalah pilihan yang strategis untuk meningkatkan kapasitas diri di berbagai lini.
Strategi Saat Ini
Semestinya contoh yang diceritakan belum bisa menggambarkan bagaimana sistem contribution-centric bisa mengarahkan hidup kita secara lebih strategis. Saya belum begitu mengelaborasi bagaimana karir bisa meluaskan kontribusi yang mendispersi dan memperkuat nilai-nilai pada target kontribusi itu sendiri. Mengapa belum? Karena posisi saya yang berada pada usia 20–30 tahun memang belum momennya mampu menelurkan kontribusi yang banyak/berpengaruh. Range usia ini justru harus berfokus pada membangun kapasitas. Pemosisian ini adalah salah satu aplikasi strategi itu sendiri. Semoga bisa kita bahas lebih dalam di lain hari.
Ruminasi ini mencoba menunjukkan bahwa hidup, dengan semua kompleksitas dan keunikannya, dapat dipandang melalui prisma titik dan garis — konsep dan relasi. Dari pemahaman sederhana tentang bagaimana kita berinteraksi dengan dunia, hingga aplikasi strategis dalam hidup kita, semua ini membentuk rajutan rencana dan eksekusi yang kaya dan multidimensi. Membangun kapasitas diri, berkontribusi secara bermakna, dan terus menerus beradaptasi dengan peran kita dalam masyarakat tidak hanya membawa kita lebih dekat pada kehidupan yang beradab dan berakhlak, tetapi juga membantu kita untuk mendekatkan diri pada esensi keberadaan kita sebagai manusia: diuji di dunia dan dipertanyakan kontribusinya di akhirat. Semoga dengan jalan ini kita menjadi bagian yang berseri di Hari Akhir nanti.
Catatan referensi:
- Mindset “keberhutangan” di sini terinspirasi dari konsep dīn (agama) yang secara etimologis bermakna menguasai, tunduk, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Berbarengan dengan itu, pengertian “beradab” sebagai pengenalan dan pengakuan relasi dalam suatu sistem yang hierarkis dapat didalami lebih lanjut di buku Syed M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme.
- Banyak istilah diadopsi dari konsepsi RKU-nya elitecircle.id.
- Ini adalah usaha untuk mempraktekkan Systems Thinking.