Menulis (2): Orang yang biasa-biasa saja

Ilma Aliya Fiddien
3 min readDec 4, 2022

--

Kali ini kita masuk ke pertanyaan yang lebih dalam. Mengapa harus menulis?

Ada banyak sekali jawaban. Aku tak perlu membeberkan penjelasan-penjelasan umum. Di sini, mari jawab untuk diri sendiri: Aku menulis agar tidak jadi orang yang biasa-biasa saja.

Muncul lagi dua pertanyaan di sini. Apa itu orang yang biasa-biasa saja? Mengapa tidak ingin jadi orang yang seperti itu?

Biasa-biasa saja, berkualitas moderat, tidak begitu bagus, mediocre. Aplikasikan atribut tersebut kepada manusia, itulah definisi “orang yang biasa-biasa saja”. Definisiku ini jika diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari maka aku melihat orang yang hidup hanya untuk hidup: bangun tidur untuk bekerja dan pekerjaannya hanya untuk menghidupi dia di hari/minggu/bulan/tahun esoknya. Memang, jika dilihat dari gambaran besar sistem masyarakat, dia punya andil sesuatu, tapi ukuran “hanya untuk” di kalimat sebelumnya sejatinya menggunakan niat orang itu sendiri. Jika ia tidak punya niat lebih dari sekedar menghidupi diri, maka ia hanya hidup untuk menghidupi diri.

Aku tak ingin jadi orang seperti itu.

Dipikir sekilas, bukankah secara natural manusia punya aspirasi yang lebih besar daripada dirinya sendiri? Inginnya aku berpikir seperti itu, namun kenyataannya, di suatu titik, manusia bisa benar-benar hanya memikirkan dirinya sendiri. Sebagai contoh ekstrim, lihatlah para koruptor. Nah, para koruptor ini justru bukan orang biasa-biasa saja. Mereka luar biasa, dalam makna negatif. Mereka tidak hidup sekedar menghidupi diri, tapi hidup untuk memuaskan nafsunya yang tidak pernah puas.

Oke, sekarang aku perbaiki konsep “orang biasa-biasa saja” ini. Konsep “kebiasa-biasaan” adalah suatu spektrum yang di dalamnya ada ekstrim negatif, netral, dan ekstrim positif. Para koruptor (contohnya) — yang tentu aksinya tidak baik ini — berada pada ekstrim negatif. Orang yang berada pada tengah-tengah atau zona netral adalah mereka yang tidak punya niat merugikan pihak lain, tapi juga tidak punya niat memperbaiki selain dirinya sendiri. Dari mereka ada pula yang lebih condong ke negatif namun juga ada yang lebih condong ke positif. Lalu, ekstrim positif ini kebalikan dari para koruptor: mereka membawa kebaikan yang berlimpah pada tentu dirinya sendiri dan juga pihak lain.

Aku ingin berada di daerah ekstrim positif.

Mengapa aku begitu memikirkan hal seperti ini? Mungkin tidak ada yang salah dari orang yang biasa-biasa saja, asalkan ialebih condong ke arah positif. Sayangnya, keadaanku sudah tidak sebebas itu.

Aku menuliskan paragraf ini di Kota Edinburgh. Apa yang aku sudah kulakukan di sini selama lebih dari 6 bulan adalah suatu kegiatan yang inheren positif, yaitu belajar di perguruan tinggi. Di sini aku mengusahakan untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat — tidak hanya di kuliah, namun juga lewat buku, pertemanan, perjalanan, dan renungan-renungan. Insya Allah, itu akan tetap terjadi selama sisa waktu di sini.

Di sinilah titik beratnya: aku dibiayai oleh orang lain ke sini dengan maksud menjadikan aku orang yang bermanfaat untuk masyarakat. Aku sudah didesain (oleh diriku, pihak yang membiayaiku, dan masyarakat) untuk tidak jadi orang yang biasa-biasa saja.

Jika aku sudah berbicara sampai sejauh ini, urusanku bukan lagi tentang tak ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja, tetapi aku sudah tidak boleh dan tidak bisa menjadi orang yang seperti itu.

Di sisi lain, janganlah ambil pesan di tulisan ini dengan nuansa yang salah. Ini disampaikan bukan dalam nada “terpaksa dan pasrah”, tapi dengan nada “optimis dan sedikit tertekan.” 🤕

Tapi! Apa jadinya jika di masa depan aku berubah pikiran, menyerah, dan akhirnya menjadi orang yang biasa-biasa saja?

Tidak perlu khawatir, ada antidotenya, di tulisan selanjutnya.

Originally published at https://fiddien.com on December 4, 2022. Republished with some modifications.

--

--