Rasanya Ada Yang Tak Mau Ditinggalkan: Muslim Indonesia di Edinburgh
Ketika terbang meninggalkan tanah air untuk melanjutkan studi, aku berpikir:
“S2 satu tahun itu cepet banget. Akan terlalu sibuk untuk mengurusi akademik, gak bakal connect dengan banyak hal!”
“Ah, paling nanti juga kemana-mana sendiri.”
Ya, aku membayangkan satu tahun berada di Inggris akan jadi waktu yang sepi nan sibuk, atau sibuk kesepian. Tak akan ada pertemanan jangka panjang yang terjalin di sini. Semuanya akan temporary.
Bayangan ini bias. Aku datang dengan mengantongi rasa penasaran, bagaimana realita orang yang hanya terfokus mengerjakan satu pekerjaan? Belum pernah aku berada di posisi dan situasi seperti itu.
Satu bulan kemudian, realita tersebut masih tidak sungkan mendatangiku.
Meski sudah mencoba menghindar giuran mengikuti aktivitas di PPI Edinburgh, PPI UK, dan Mata Garuda UK, tembakan jitu ajakan mengurusi sesuatu tetap mendarat di pesan Whatsapp-ku.
Pada tanggal 22 Oktober 2022, sang ketua baru memberi salam pertama. (Siapa? Apa? Insya Allah akan aku ceritakan detailnya setelah semua ini berakhir dan atas izin orang-orang terkait.) Beliau ingin “ngajak bantu-bantu di KIBAR,” katanya.
KIBAR? Aku pernah mendengar nama tersebut di sambutan PPI Edinburgh di akhir September kemarin. Keluarga Muslim Indonesia di Britania Raya, kepanjangannya. Namanya cukup self-explanatory. Ada entitas pusat, KIBAR UK, ada entitas lokal, dalam kasusku, KIBAR Edinburgh. Sang ketua baru merujuk pada entitas kedua.
Hmm.
GAMAIS part 2, kah?
Saat itu aku agak sedikit tertawa-tawa sendiri memandang layar gawai. Aku ingat. “Rasanya Ada yang Tak Mau Ditinggalkan”, adalah salah satu judul tulisan (super mini) di awal tulisan (panjang) refleksiku sebagai MPO GAMAIS ITB 2021. Tawaran ini terasa seperti pengulangan ekspresi tersebut.
Rasanya ada yang tak mau ditinggalkan!
Saat pertama kali menuliskannya, aku berpikir bahwa pihak yang tidak mau ditinggalkan adalah bukan aku. Namun, setelah mengalami berbagai pengalaman di wadah yang disebutkan tadi, disertai tawaran sang ketua baru dan kecenderunganku untuk memberi afirmasi, hati dan kepala ini merenung ulang.
Justru akulah yang tidak ingin ditinggalkan.
Aku tidak ingin ditinggalkan oleh lingkaran saudara-saudari seimanku — di tengah badai akademik, badai dunia dan diri, dan angin dingin Laut Utara.
Maka balasku untuk pesan dari sang ketua baru adalah, “boleh boleh.”
Tujuh bulan kemudian, aku memberi jawaban pula untuk dua hipotesisku di atas.
Pertama. Bahwa memang S2 satu tahun di Inggris itu super kilat dan tidak waras (bagiku) untuk aktif di wadah lain — dengan ekpektasi intensitas yang aku… ekspektasikan.
Kedua. Meski poin pertama benar, aku tidak sendirian dan tak pula merasa kesepian. Justru hanya dalam waktu singkat, telah tersimpan memori kehangatan di beberapa titik-titik kota tua ini.
Edinburgh Central Mosque.
Gedung-gedung di George Square.
Rumah warga-warga lokal.
Itu adalah tiga tempat di mana aku sering menemukan orang-orang yang wajahnya menongol di acara-acara KIBAR Edinburgh.
KIBAR Edinburgh mengadakan kegiatan setidaknya satu bulan sekali. Acaranya mengikuti template yang sama: mengumpul, belajar, makan, bersosial. Ya meski selalu ada sedikit variasi.
Pilihannya: Dzuhur lalu pengajian, pengajian lalu Dzuhur, pengajian lalu Ashar. Akhirnya selalu makan-makan dan bertukar kabar.
Sesama muslim, tapi tak jarang non muslim pun datang.
Lumayan rame di awal, tapi kok diakhir semakin membesar. Istilahnya, awal dimulai oleh yang tujuh belas, akhir dibubarkan oleh yang tujuh puluh.
Sesama orang Indonesia, berbahasa Indonesia, bercandaannya +62, makanannya nusantara.
Terdengar dan terlihat sederhana, namun di setiap kegiatan KIBAR digelar, aku selalu berharap untuk setiap orang yang datang agar setidaknya menerima satu hal:
Kehangatan.
…seperti apa yang aku dapat ketika aku tidak mengabaikan keenggananku untuk tidak ditinggalkan.
Meski dengan segala kenikmatan yang sudah tertera, objection itu masih ada.
Semuanya akan sementara.
Beberapa bulan lagi aku (dan pengurus lain) sudah harus kembali. Wajah warga akan silih berganti. Student datang dan pergi. Apa yang (sedikit) kita mulai atau coba pertahankan di KIBAR Edinburgh bisa saja berlanjut atau terhenti di iterasi selanjutnya.
…
Ah, dipikir-pikir lagi, semuanya juga sementara, kok. Urusannya memang bukan itu.
Urusannya adalah tentang bagaimana kita memanfaatkan ruang dan waktu yang ada. Bisakah kita ubah kehampaan menjadi iman, kerutan menjadi senyuman, dan kelaparan menjadi perut yang bahagia?
Dari yang sudah berlalu ada yang maksimal, ada yang kurang.
Dari yang masih tersisa, mau (aku) bagaimanakan?